TOPIKINI, PESISIR SELATAN – Masjid Al-Imam Koto Baru merupakan salah satu masjid tertua di Sumatra Barat. Lokasinya berada di Kampung Balai Kamis, Nagari Kambang, Kecamatan Lengayang, Kabupaten Pesisir Selatan.
Data dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatera Barat (Sumbar), Masjid Al-Imam Koto Baru direncanakan didirikan tahun 1916 pada zaman belanda sebelum di bangun Masjid dulunya sebuah surau.
“Waktu itu sebelum masjid ini dibangun dulunya adalah surau, dimana tempat berkumpulnya ninik mamak, tempat bermusayawarah disana, maka dibangunlah sebuah mesjid yang pada waktu itu arsiteknya dari Cina,” kata Rafdinal Azmianto Jo Mudo, pengurus masjid Al Imam.
Masjid itu awalnya dinamai Masjid Batu, yang didirikan Udin Sitan Nangkodo, H. Zainuddin sebagai bendahara, H. Sani sebagai ulama dan Datuak Rajo Pandapatan.
Tak hanya itu, Masjid Al-Imam Koto Baru juga memiliki nuansa perpaduan tiga budaya, yaitu Islam, Kolonial dan Eropa.
Konstruksi beton pada masjid itu memperlihatkan arsitektur eropa, termasuk adanya tiang-tiang besar dan lengkungan-lengkungan khas eropa.
“Atas kesepakatan ninik mamak, dimana setiap tiang-tiang yang ada di amsjid itu adalah sesuai dengan adat Nagari Kambang, contohnya saja tiang 50 diluar melambangkan ada 50 ninik mamak, kemudian didalam ada tiang 14 itu juga melambangkan 14 ninik mamak, satu tiang didalam yang besar itu melambangkan kepala kaum,” lanjut Rafdinal.
Sejak didirikan 1916, masjid itu baru difungsikan tahun 1925 untuk Salat Jumat, dengan alasan untuk menghimpun masyarakat untuk menimbun halaman masjid dengan memakai ember, tanah timbunan diambil dari lapangan yang ada didekat masjid.
Bangunan masjid berbentuk empat tingkat (puncak nan ampek). Filosofinya, melambangkan alim ulama, cadiak pandai, niniak mamak dan wali nagari.
Lalu, filosofi tiang yang berjumlah lima buah pada masjid tersebut melambangkan Rukun Islam, dan jendela melambangkan rakaat shalat.
Secara umum Masjid Raya Al-Imam masih terjaga keasliannya. Tidak ada perubahan berarti pada bangunan masjid, hanya penambahan jendela dengan alasan udara di dalam masjid yang cukup panas.
Lalu, lantai masjid juga masih asli dengan marmer kuno. Sementara, di halaman masjid terdapat beberapa makam. Lokasi masjid ini berada dekat dengan lokasi pasar Koto Baru, Pesisir Selatan, sehingga kesehariannya digunakan salat berjamaah, dan cukup ramai.
Selain itu, Masjid ini banyak memiliki perlambangan ataupun simbol keagamaan pada bagian bangunannya, di antaranya dinding masjid yang melambangkan Ikek Ampek.
Ikek Ampek terdiri dari nagari Kambang yang didirikan pada zaman dahulu, karena suku-suku yang mendiami daerah ini sudah cukup 4 suku, sebagai syarat berdirinya sebuah nagari.
Tonggak Macu dikelilingi delapan tonggak yang berada di ruangan masjid, delapan tonggak yang mengeliingi tonggak macu melambangkan adat dan syarak, empat orang ikek memegang adat dan empat orang imam memegang syarak.
Kemudian, tuturan atap masjid berjumlah lima (Masajik Limo), melambangkan lima masjid yang dibangun untuk beribadah anak nagari, yaitu Masjid Kampung Akat, Masjid Lubuk Sarik, Masjid Koto Baru (Al-Imam) yang sekarang, Masjid Tampunik, dan Masjid Koto Kandis.
Sementara, gelung di dalam masjid yang berjumlah sembilan yang berada di antara tonggak yang berjumlah 10 disebut sebagai Koto Sambilan.
Koto Nan Sambilan adalah kampung-kampung yang berdekatan dengan Masajik Limo atau kampung-kampung yang ada pada waktu didirikannya nagari Kambang.
Kampung itu adalah Kampung Akat, Lubuak Syariak, Koto Marapak, Nyiur Gading, Koto Baru, Medan Baiak, Ky Kalek, Tampuniak, dan Koto Baririk.
14 tonggak dalam ruangan masjid disebut sebagai Penghulu Ampek Baleh, merupakan 14 orang penghulu dari keempat suku yang ada, yang merupakan sandi dari keempat buah Ikek Suku.
Untuk tonggak-tonggak yang terdapat di luar masjid, yaitu tonggak gandeng 2, 3 dan 6 dengan jumlah total 50 tonggak, disebut sebagai niniak mamak nan limo puluah.
Niniak mamak nan limo puluah adalah 50 orang niniak mamak dari penghulu ampek baleh.
Bagian lainnya yang memiliki makna adalah tiang yang mengapit jenjang berdirinya khatib dan langit-langit masjid. Kedua tiang yang mengapit jenjang tempat khatib berdiri disebut sebagai Haluan dan Bandaro.
“Karena masjid ini masjid bersejarah sampai sekarang untuk kelestariannya kami sesuaikan dengan apa yang disampaikan kepada kami oleh petugas cagar budaya Batusangkar, kami akan melestarikan apa yang harus dilestarikan, kami tidak boleh merubah di dalam masjid ini,” ucapnya lagi.
Tidak hanya itu, keunikan lain selain bangunannya, Masjid Al-Hakim juga salah satu masjid di Sumbar yang masih memiliki atau menyimpan kitab kuno berupa Kitab Kuning.
Di masjid itu terdapat puluhan Kitab Kuning atau yang akrab dikenal dengan Kitab Gundul, karena tak berbaris. Kitab Kunung yang ada di masjid itu, kini juga sudah ada yang lapuk dan dimakan rayap.
Untuk pertemuan adat sekarang sudah ada dibangun knator KAN ( Kerapatan Adat Nagari) jadi masjid khusus dipergunakan untuk ibadah saja dan tempat pengajian anak-anak atau TPSA,” tutup Rafdinal.(Ul)