TGB Ajak Kejar Dunia Tanpa Lupakan Akhirat

TOPIKINI – Permai Utara Malaysia menggelar Dialog Kebangsaan Wawasan Nusantara, Indonesia-Malaysia dengan pembicara dari Indonesia TGB HM Zainul Majdi, Ketua Ikatan Alumni Al Azhar Indonesia (OIAA) Prof Dr Mohammed Reevany Bustami dari University Science Malaysia (USM), Jumat (29/11).

Dialog yang menghadirkan paguyuban Indonesia di Penang, Malaysia mengambil tema konsep wasathiyah dan perannya dalam membangun bangsa perspektif sekarang dan akan datang.

Ketua Umum Permai Utara Malaysia Ahmad Rofi’i mengatakan, berbagai paguyuban di Penang, Malaysia hadir.

“Kerinduan cukup lama, biasa melihat TGB hanya lewat dari media sosial atau media massa,” katanya.

Terkait tema acara, Prof Mohammed Reevany menjelaskan, pertama, konsep wasathiyah merupakan perjalanan seimbang menuju kecemerlangan. Kedua, mengangkat keadilan, meletakkan hak pada tempatnya. Ketiga, wasathiyah bukan ditengah kemudian menghadirkan hal baru yang mudah. Wasathiyah tetap bertonggakkan prinsip, ikut rukun Islam secara penuh.

“Ikuti standar Islam secara utuh. Lembut dan tegas, itu wasathiyah.Islam bukan lembek, kadang lembut kadang juga keras,” terangnya.

Sementara itu, TGB mengungkapkan, acara Permai Utara, Malaysia bagian dari silaturahmi. Ini menjadi instrumen paling utama membangun kekuatan umat. Saat ini masyarakat memiliki smartphone, bukan mendekatkan yang jauh, sebaliknya malah menjauhkan yang dekat.

“Ada anak justru sibuk bermain handphone saat berjumpa dengan orang tua,” katanya.

Dijelaskan, banyak hal kontraproduktif dengan cita-cita awal agama Islam. Ajaran Allah berlaku kepada semua nabi, diturunkan pada setiap masa adalah silaturahim.

“Ada berlaku untuk semua, ada yang beda-beda. Silaturahim menguatkan persaudaraan,” sambungnya.

Ketua Ikatan Alumni Al Azhar Indonesia ini mengurai, majelis taklim di negara Islam lain tak mudah untuk menggelar acara keagamaan. Di Indonesia mudahnya majelis taklim bagian dari yang disyukuri. Bisa tumbuh subur. Sanggup membangun kohesifitas sosial.

“Ini salah satu indikator wasathiyah dalam keseharian. Bagaimana kita bisa hidup membangun nilai agama bersama nilai budaya dengan baik,” sambungnya.

TGB menyebut, dahulu ada paradigma orang yang saleh itu miskin, sementara orang kaya selalu identik dengan jahat. Itu anggapan tak benar. Sahabat nabi menghimpun kekayaan untuk kepentingan orang banyak.

Ada yang memahami zuhud itu tak punya apa-apa. Padahal, menguji zuhud sesungguhnya setelah memiliki harta. Ketahanan ketika punya sesuatu kemudian sanggup menahan diri. Kata ulama, cari harta sebanyak mungkin letakkan di tangan bukan di hati.

“Bukan hanya soal harta. Termasuk berpolitik, jangan sampai masuk ke hati cukup di kepala. Ketika yang diusung kalah tak sakit hati, kalau terpaksa diletakkan cukup di kepala,” bebernya.

TGB menyebut, ikhtiar dunia jangan sampai melalaikan yang lain. Mencari urusan dunia tidak sampai meninggalkan akhirat.

“Silahkan mencari rizki profesional, tapi jangan sampai mengabaikan salat. Keseimbangan ini bukan sekadar menunaikan sesuatu, tapi juga memberikan yang terbaik dengan tanpa melalaikan beribadah,” urainya.

Dikisahkan, ada tiga sahabat datang kepada istri Nabi Muhammad. Mereka menanyakan ibadah nabi. Dari cerita istri Rasul, ternyata ibadah nabi tak sebanyak yang mereka pikir. Nabi dianggap beribadah terus. Sampai kemudian satu sahabat mengatakan, mulai saat itu akan puasa penuh, satu sahabat lagi menyebut akan salat sepanjang malam tanpa tidur, satu lagi tak mau menggauli perempuan.

Nabi kemudian mendengar kesepakatan tiga sahabat ini.

“Menurutmu siapa paling bertakwa,” katanya.

“Engkau ya rasul,” jawab sahabat.

Rasul kemudian mengatakan, tak pernah puasa terus menerus. Malam hari juga tidur, salat malam kemudian tidur lagi dan Salat Subuh. Nabi pun menggauli istri dengan baik.

“Siapa yang menyelisihi cara saya ini dia telah keluar dari sunnah saya. Puasa setiap hari bukan bagian dari sunnah saya, beribadah sepanjang malam pun bukan sunnah saya. Termasuk mengabaikan istrinya, bukan yang ikuti sunnah saya,” urainya.

Doktor tafsir Alquran ini menyebut, ada yang menganggap dunia rumah selamanya, orientasi dunia saja. Kemudian bersenang-senang semaunya.

“Tobatnya menunggu tua. Dia pikir sampai tua, banyak yang mati muda,” ucapnya.

TGB menyebut, menganggap dunia segalanya salah, bukan berarti dunia tak penting. Justru dunia satu-satunya kendaraan menuju akhirat.

“Yang dilakukan bagaimana kebaikan di dunia bermanfaat dan bisa dirasakan lebih banyak orang,” imbuhnya. (red)