Selamatkan Ranah Minang Bundo Kanduang!

TOPIKINI – Menjadi orang Minangkabau bukan pilihan tapi anugerah yang tidak didapat 99,9% orang di dunia. Hanya ada dua suku bangsa yang berbeda di dunia dengan mengambil garis Matrilinial, yakni Minangkabau di Sumatera Barat, Indonesia, dan Madagaskar di Afrika. Tapi sejauh ini, hanya Minangkabau yang menggabungkan Matrilinial dengan Matriakat.

Mengambil garis keturunan dari pihak Ibu, mengambil garis waris dari pihak ibu. Lengkaplah semua urusan, semua yang menyangkut duniawi harus berpatok pada Ibu. Begitu mulia, Minangkabau menempatkan seorang Ibu. Apa-apa harus mengacu pada Ibu.

Dan yang lebih menabjubkan, justru urusan surgawi, akhirat, Minangkabau merujuk pada Islam. Notabene dalam Islam justru garis turunan dari Bapak dan juga hukum waris dari Bapak. Patrilinial dan Patriakat. Sebuah fenomena menabjubkan di Minangkabau, bagaimana bisa menggabungkan Matrilinial dengan Patriakat dalam keseharian. Bagi yang tidak orang Minangkabau atau yang tidak mengenal adat istiadat Minangkabau, ini sebuah kontroversi yang membingungkan.

Bagaimana bisa semua anak yang merupakan turunan Ibunya dengan nama suku ibunya, dan menerima atau menurunkan warisnya ke anak perempuannya bisa taat dan patuh dengan tidak ada bantahan pada aturan Islam yang jelas-jelas mengambil garis nama ayah, juga garis waris ayah.

Aku ndak ingin menggurui, karena sebenarnya bukan kapasitasku dan aku tidak ahli untuk itu. Meskipun di kampus dulu, nilai Sejarah Minangkabau aku dua-duanya huruf A, tapi itu tidak sepenuhnya bisa membantu mengklaim aku ahli adat Minangkabau.

Tapi, ibuku, perempuan kampung yang hanya sekolah sampai SMP, tidak memiliki ijazah resmi malah, karena aku tidak pernah melihat lembaran itu, sering bercerita, banyak mengajarkan dengan tingkah laku dan perbuatan seorang perempuan Minangkabau. Beruntungnya aku, terlahir sebagai anak bungsu, sehingga lebih lama bisa berdampingan dengan Ibu, sebelum tuah badan merantau sebagai bukti anak Minang.

Anak-anak yang lahir dari perempuan bersuku Minangkabau akan langsung menyandang suku/marga ibunya. Ibuku Selayan, dan bapakku Sikumbang, maka aku adalah anak orang Selayan, bukan Sikumbang. Anak-anak yang lahir dari ibu bukan Minangkabau, tapi ayah orang Minangkabau, malah jadi tidak punya Sako dan Pusako di Minangkabau. Disebut Minangkabau bukan, disebut suku lain juga bukan. Tak ada negeri lain di dunia ini yang Matrilinial selain Minangkabau dan Madagaskar. Dan ini istimewanya.

Ada bagian dari adat istiadat Minangkabau yang merangkul turunan ayah Minangkabau ibu bukan Minangkabau terhadap anak-anak ini. Sang ibu yang bukan orang Minangkabau akan dimasukkan atau diakui suku oleh salah satu suku yang ada di kampung ayahnya dengan menyelenggarakan beberapa aturan dalam adat. Malakek begitu istilah Minangnya.

Soal ibu Minangkabau dan ayah tidak Minangkabau justru jadi istimewa karena si anak akan diakui dua suku, suku ibunya sudah pasti mengatakan itu turunan mereka, dan suku ayahnya juga begitu. Maka jadilah dia anak yang beruntung karena pasti akan mendapatkan dua waris, baik nama ataupun harta. Aku pilih ini, untuk anak-anakku, sayangnya mereka laki-laki semua, sehingga suku ibuku habis sampai didiriku. Malangnya aku, belum tentu!

Bagi orang Minangkabau, ibu sangat mulia, sangat agung dan istimewa. Seorang ibu Minangkabau adalah kunci harta pusaka. Bagaimana di Minangkabau, harta pusaka akan turun temurun ke anak-anak yang perempuan juga. Bagaimana suku Minangkabau ini begitu menempatkan derajat yang tinggi bagi perempuan-perempuan nya.

Hehehehe, panjang benar mukadimahnya. Sebetulnya aku cuma ingin menuliskan bagaimana kondisi kekinian bagi orang Minang. Perdebatan politik yang terjadi di tengah pusaran Pilpres yang hanya memiliki dua pasang calon. Pilih satu, jangan dua, tak sah kalau dua jadi harus satu. Dalam Perpu Pemilu kita, pemilih hanya memilih satu Bacalon, bukan dua Bacalon. Maaf, jangan salah baca. Salah satu, mungkin itu lebih tepat bahasanya.

Dan kondisi hari ini, setidaknya merujuk pada kondisi politik 2014 lalu, Sumatera Barat sebagai daerah pemerintahan yang mayoritas orang Minangkabau, tidak memberi peluang menang pada Jokowi-JK, meskipun JK adalah urang Sumando Minang. Mufidah adalah orang Minang, tapi suaminya tak dipilih orang Minang saat pemilu lalu.

Mengapa bisa begitu, padahal biasanya orang Minang lebih nepotis dari suku bangsa lain, kata kawanku yang bukan orang Minang. Sebuah pemikiran yang salah. Bagi orang Minang, siapa saja akan dipilih asalkan mereka bisa merangkum Minangkabau eh Sumatera Barat secara keseluruhan. Dan jika satu saja kesalahan akan mereka tinggalkan tanpa ampun.

Ingat PRRI? Bagaimana Sumatera Barat ingin mendirikan sebuah negara dalam negara Republik Indonesia. Ide pembentukan negara ini beda dengan yang terjadi 1945-1949 dimana di Sumatera Barat juga muncul ide mendirikan negara dalam NKRI yakni Negara Istimewa Sumatera Barat (NISB) yang dimotori seorang terpelajar dari Payakumbuh. Itu, konteksnya hanya negara boneka, yang ditiupkan Belanda untuk memecahbelah bangsa Indonesia. Nah sekarang? Atau saat PRRI beda.

Sumatera Barat yang merupakan wilayah pemerintahan dan sebagian besar wilayahnya Minangkabau, adalah sebuah negeri yang merdeka dalam berfikir, merdeka dalam mengapresiasi segala hal. Heterogenitas kah? Tidak sepenuhnya. Bagi orang Minangkabau Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah diatas segalanya. Adat mangato Syarak memakai. Siapa saja yang menggulirkan soal agama di Sumatera Barat akan cepat ditelan meskipun jarang dikunyah lebih dahulu.

Saat Belanda zaman Paderi membenturkan adat dengan agama, maka muncullah pemberontakan. Belanda kalang kabut menghadapi perlawanan kaum Paderi dibawah komando Tuanku Imam Bonjol. Belanda akhirnya “menyerah” dan tidak mau lagi membenturkan adat dan agama di Minangkabau.

Siapa yang menenangkan pertarungan itu? Keduanya, kaum adat dan kaum ulama. Maka lahirlah slogan adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Kaum adat tidak boleh melakukan hal yang dilarang Islam, dan kaum agama tidak boleh menentang kaedah adat, sepanjang yang diizinkan Islam. Yang baik-baik mereka rangkum dan jadi istiadat sampai hari ini. Adat istiadat, adat orang Minang adalah Islam. Ops, melantur jauh lagi.

Kembali ke soal Pemilu. Sebenarnya orang Minangkabau atau Sumatera Barat adalah kaum yang sangat demokratis. Suku bangsa paling demokratis dan adil di muka bumi. Bagaimana tidak, saat proklamator Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan bangsa ini 1945, dibelakang panggung rata-rata orang Minangkabau.

Sebut saja H. Agus Salim, Hatta, St Syahril, dll. Beberapa orang yang terlibat langsung dengan Badan Perumusan Kemerdekaan Indonesia, BPUPKI juga kebanyakan orang Minang. Orang Minang dengan tradisi merantau ya sejak dulu telah melahirkan tokoh-tokoh bangsa yang ternama dan diperhitungkan. Pergi dari kampung halaman menuntut ilmu dan pulang dengan dengan keahlian yang tak diragukan.

Karena inilah, kesombongan orang Minang menjadi baku. Mereka menjadi protek atas hegemoni intelektual bangsa ini. Bahkan untuk rumusan dasar negara yang dipakai adalah rumusan St Syahril, bukan Soekarno. Memang ada beberapa kalimat yang disederhanakan, tapi tidak mengurangi makna isi kepala orang Minang didiri St Syahril. Mengapa mereka bisa menerima Soekarno, karena trahnya tinggi dan masih turunan Airlangga raja Singosari.

Mengapa orang Minang bisa menerima Soeharto, karena trahnya masih turunan bangsawan dari Wonogiri. Dan mengapa mereka bisa terima SBY karena tentara lebih berharga daripada seorang tukang kayu seperti Jokowi. Inilah kuncinya. Jokowi hanyalah orang biasa. Kesombongan orang Minang membuat seorang Jokowi tidak bisa diterima di Sumatera Barat.

Coba kalau Jokowi turunan salah satu “dayang” saja dari sekian banyak istana di Jawa, atau menjadi pemikir dan intelektual di Jakarta, pastilah dia bisa menang di Sumatera Barat. Yakin saya!

Tapi, bukan Jokowi namanya kalau tidak paham hal ini. Dengan segala keangkuhan orang Minang ini, Jokowi sangat mengerti. Makanya meskipun kalah telak di Sumatera Barat, Jokowi tetap mencintai daerah itu sama dengan daerah lainnya. Tidak ada istilah balas dendam sehingga menelantarkan segala kebutuhan Sumatera Barat.

Pembangunan di Sumatera Barat justru lebih dari beberapa daerah lainnya di Sumatera. Infrastruktur yang dibangun Jokowi di berbagai wilayah Indonesia juga dibangun di Sumatera Barat. Bahkan lebih banyak dari di Riau.

Ratusan miliar dengan gampang mengalir ke Sumatera Barat. Jalan, jembatan, listrik, pertanian, sekolah dan sebagainya. Sumatera Barat memang istimewa!

Tapi apa yang terjadi. Orang Sumatera Barat tidak pernah menganggap apa yang dilakukan pemerintahan Jokowi itu sebagai bagian untuk membangun Indonesia secara keseluruhan, berkelanjutan dan saling hubungan satu dengan yang lain.

Mereka malah mencibir, mencemeeh Jokowi sebagai bentuk dari membujuk dan merayu mereka. Tidak ada rasa terimakasih dan ucapan santun untuk hal itu. “Itu kewajiban pemerintah!” Itu alasan mereka. Mashaa Allah! Sudah begitu tertutup pintu hati mereka semua.

Sebagai anak Minangkabau, saya sedih dan kecewa. Sedih karena mereka, saudara-saudara saya lebih mengedepankan hal yang tidak penting dan memalukan ketimbang kembali ke ajaran adat santun dan berbalasan dalam kebaikan.

“Kalau kamu diberi orang makanan, saat kamu lapar, diminta atau tidak kamu harus membalasnya dengan kebaikan. Tidak cukup hanya dengan kata terimakasih,” itu kata ibu saya yang selalu terngiang hingga sekarang.

“Sebagai orang timur, Kita punya adat yang santun dan penuh kasih sayang. Jika kita keras harus karena kebenaran bukan untuk menutupi kekurangan atau menghilangkan malu. Makanya harus sopan santun jadi pagar diri,” tambah beliau dulu.

Ternyata tidak cukup hanya dengan terimakasih. Harus membalas dengan kebaikan yang sama atau setidaknya mendekati hal itu.

Tapi yang sekarang terjadi sungguh saya sangsi ini watak orang Minang. Ini pasti sudah hasut dan fitnah yang bermain. Saya takut, Ranah Minang akan dikutuk leluhur karena tidak pandai lagi rakyatnya mengucapkan terimakasih.

Tolong, selamatkan Ranah Minang Bundo Kanduang. Jangan jadikan kampung halaman kami jadi ranah kemurkaan alam. Ranah Minang jangan sampai jadi negeri durhaka dan terkutuk oleh leluhurnya sendiri.

Biarkan kebaikan membasuh hasut dan fitnah itu mencair dan orang Minang kembali menjadi santun dan tahu berterimakasih. Meskipun tidak akan memilih Jokowi, tapi setidaknya pandanglah seorang Kiyai yang mendampinginya agar Umara dan Ulama tetap jadi pedoman di negeri kami.

Ditulis oleh : MUNAZLEN NAZIR/Jokowi Lover Pekanbaru