Opini: Undang-Undang Berbasis Agama: Sudahlah Hapus Saja!

Oleh: Andre Vincent Wenas

Pancasila sudah final. Kita bukan negara agama, itu jelas. Tinggal sekarang kita masuk dalam tataran praktek kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdasarkan kelima azas: berketuhanan, berperikemanusiaan, bersatu, berdemokrasi, dan berkeadilan.

Saat ini sangat terasa bahwa tantangan utama para cendekiawan dan kelas menengah berpendidikan di Indonesia adalah soal kekerasan dan ketidakadilan, keduanya termasuk kejahatan. Bagaimana kita bisa mengungkap struktur-struktur kejahatan itu? Dimana struktur kejahatan seperti itu adalah akibat dari politik kekuasaan. Siasat dalam perimbangan kekuatan politik telah mengabaikan upaya yang serius untuk mengatasi korupsi dan ketidakadilan. Korupsi dan berbagai bentuk pemaksaan sistem hukum berdasar keyakinan agama tertentu adalah juga suatu bentuk kekerasan dan ketidakadilan. Jadi sebetulnya juga suatu kejahatan.

Praktek kekuasaan akhir-akhir ini de-facto dan juga de-jure tidaklah dijalankan dalam kerangka etika politik. Melainkan semata-mata demi mempertahankan kekuasaan. Dr.J. Haryatmoko,SJ (bukunya: Etika Politik & Kekuasaan, 2014, mengulas dengan cukup dalam segala segi persoalan ini). Akibatnya, banyak transaksi politik dagang-sapi, konsesi-konsesi politik yang ujungnya mengorbankan maksud dasar dari politik itu sendiri, yakni: bonum commune (kesejahteraan bersama).

Partai-partai pengusung menuntut jabatan-jabatan politik tertentu demi pemanfaatan akses pengamanan kasus-kasus hukum para pejabatnya (bupati, walikota, gubernur, dll) dari jeratan hukum. Ini hanya suatu contoh.

Maka, selalu terulangnya kekerasan (pemaksaan) dan ketidakadilan bukan hanya masalah insidental saja, namun berakar pada konflik kepentingan dari politik kekuasaan itu sendiri. Bentuk kekerasan dan ketidakadilan bisa saja tampil kasatmata dalam aksi-aksi agresif (sweeping gaya ormas keagamaan, kerusuhan, penculikan, persekusi aktivis, sampai pada pembunuhan). Tapi kekerasan dan ketidakadilan juga bisa tampil seolah-olah legitim, santun, dan dalam kerangka demokrasi. Bentuknya berupa Undang-undang dan aturan-aturan dibawah undang-undang (seperti perda, pergub, dll).

Penguasa sebagai pemegang monopoli kekerasan yang legitim bisa sewenang-wenang (atau membiarkan) kekerasan dan ketidakadilan terjadi hanya demi mempertahankan kekuasaan. Penguasa dalam hal ini bukan suatu institusi tunggal. Aktor-aktor politiknya bisa banyak: di parlemen, di eksekutif, di yudikatif maupun para oknum pejabat lembaga-lembaga formal (kementerian, kantor-kantor pemerintah) maupun lembaga ad-hoc seperti KPK misalnya. Konspirasi trias-politika kita bisa menyebutnya. Bahkan pilar keempat demokrasi (pers/media) pun sudah banyak pula yang terkooptasi kekuasaan dan sekedar berfungsi sebagai corong humas atau alat propaganda belaka.

Salah satu bentuk kekerasan (pemaksaan) dan ketidakadilan yang aktual saat ini misalnya: Undang-Undang Jaminan Produk Halal. UU No.33 Tahun 2014 ini disahkan masa Presiden SBY (17 Oktober 2014) saat menjelang serah terima jabatan kepada presiden terpilih saat itu Ir.H. Joko Widodo. Disamping banyak peraturan lain di bawah undang-undang (perda misalnya) yang berbasis agama tertentu yang jelas-jelas diskriminatif. Ini adalah bentuk kekerasan yang seolah-olah legitim walau jelas tidak adil.

Kasus-kasus yang akhirnya pecah dan muncul ke permukaan seperti misalnya yang baru-baru ini terjadi: kasus Tous le Jours, D’cost, kulkas halal, kacamata halal, wisata halal, dlsb, merupakan percikan-percikan api dalam sekam yang selama ini seolah dipelihara (dibiarkan) hanya demi melanggengkan kekuasaan politik pihak-pihak tertentu pada konstelasi momen politik tertentu pula.

Ironisnya, kepentingan lain (biasanya soal duit) juga kencang menuntut. Misalnya saja soal penganugerahan penghargaan bagi tempat hiburan malam (pelacuran terselubung?) dari rezim kepala daerah yang terpilih akibat permainan ayat-ayat agama tertentu. Ini khan pameran hipokrisi par-excellence!

Dalam suatu diskusi bersama Prof. Arbi Sanit (Universitas Indonesia) dan beberapa cendekiawan lain, diungkap bahwa selama ini ternyata negara telah terlalu jauh mencampuri urusan privat warganya. Soal keyakinan beragama adalah ranah privat. Tatkalah kerancuan antara mengurus peraturan untuk tatanan hidup di ranah publik (forum publicum) tercampur dengan urusan yang seyogianya menjadi ranah pribadi (forum privatum) maka harmoni dan stabilitas sosial terganggu. Dampaknya bisa kemana-mana (ekonomi/bisnis, politik, kebudayaan, hubungan internasional, dst).

Sudah jadi rahasia publik (tahu sama tahu) lah bahwa celah korupsi dan bancakan terbuka lebar lantaran klaim-klaim pihak tertentu yang merasa berhak untuk memberikan cap (label) halal bagi produk atau urusan-urusan tertentu. Playing God (berperan laksana tuhan) bisa menentukan orang masuk neraka atau surga sudah jadi komoditi dagangan para penjaja ayat karbitan.

Sudahlah, hentikan labelisasi halal oleh lembaga negara atau partikelir (ormas). Wajibkan saja para produsen untuk secara jelas mendeklarasikan isi/racikan dari produk makanannya (atau bahkan untuk setiap produk yang ditawarkan). Apakah mengandung unsur tertentu yang dianggap haram oleh kelompok tertentu itu harus jelas terpampang dalam label produk. Biarkan masyarakat yang menentukan selanjutnya. Didik saja masyarakat untuk teliti sebelum membeli atau mengonsumsi. Bikin rakyat jadi pandai dan kritis. Jangan perlakukan masyarakat seperti boneka bodoh (dummy) yang tidak bisa mengambil keputusan sendiri.

Ini baru soal Undang-Undang Jaminan Produk Halal. Ada banyak penyusupan legal lain yang berbau agama tertentu yang masuk ke dalam aturan-aturan di ranah publik dan dilegitimasi oleh oknum kekuasaan (lewat legislatif, eksekutif dan yudikatif). Itu semua harus dibersihkan juga!

Belajarlah dari sejarah dunia juga. Tatkala terjadi gerakan intoleransi massif di Eropa abad ke-17, dimana kaum Protestantisme ditindas oleh kaum Katolik, John Locke angkat bicara. Traktatnya yang berjudul ‘Epistola de Tolerantia’ (tahun 1685) lalu diterjemahkan jadi ‘A Letter Concerning Toleration’ (tahun 1689) lahir dari keprihatinannya terhadap konflik antar-agama di Eropa (Katolik vs Protestantisme di Inggris: Independent, Baptists, Congregationalists, Quakers). Kemudian Voltaire dan Rousseau mendukung ide John Locke itu, lantaran di Perancis pun yang mayoritas Katolik juga menindas (memaksakan kehendak) terhadap minoritas Protestan.

Bahkan, konflik antar-agama Katolik dan Protestan di Perancis ini sampai masuk ke balairung istana Raja Louis XIV. Negara campur tangan dan akhirnya memperburuk situasi, gara-gara dicabutnya Edit de Nantes di tahun 1685 berakibat lebih dari 200 ribu penganut Protestan ngungsi ke Belanda dan Prusia. Runyam khan?

Rasa muak dan kebencian Voltaire akibat diskriminasi dan ketidakadilan kaum Katolik ini memuncak, ia menulis ‘Traite sur la tolerance 1763’. Di situ ia menggugat dan mengritik terutama para pastor dan pemeluk agama Katolik yang sangat intoleran pada waktu itu. “Tinggalkan intoleransi dan kepicikan pandangan!”, seru Voltaire. Ia pun seolah berteriak nyaring, “Fanatisme dan kebodohan adalah penyakit segala jaman! Atas dasar apa manusia yang diciptakan bebas bisa memaksa yang lain untuk berpikir seperti dirinya?”. Jeritan Voltaire masih terus bergaung sampai detik ini.

Ada lagi perang tigapuluh tahun (1618-1648), pelakunya masih sama antar pemeluk agama Katolik versus Protestan, sampai melibatkan beberapa negara Eropa. Konyol sekali bukan? Perang ini baru usai dengan Perjanjian Westphalia (1648) yang diratifikasi oleh raja-raja kedua pihak. Yang Katolik di Munster, dan yang Protestan di Osnabruck. Infantil! Sangat kekanak-kanakan!

Namun akibatnya, sisa-sisa perang yang meninggalkan penderitaan fisik, juga luka batin dan sakit hatinya masyarakat membekas dalam sanubari terdalam dan mempengaruhi paradigma sosial disana. Hegel misalnya, ia jadi sangat kritis terhadap Kristianisme.

Sampai ke Revolusi Perancis tahun 1789, yang melahirkan ide besar tentang Hak Asasi Manusia berdasar nilai-nilai: Kebebasan (liberte), Kesamaan (egalite) dan Persaudaraan (fraternite). Para pemikir sosial abad ke-19 seperti Saint-Simon, Charles Fourier, Joseph Proudhon dan Ferdinand Lassalle merupakan pembela kepentingan mereka yang tertindas, mengritik peran agama yang de facto telah mengabaikan bahkan ikut melanggengkan penderitaan kaum tertindas. Pemikiran dan gagasan mereka sangat kritis terhadap teologi yang tidak berakar pada realitas. Obsesi perjuangan mereka adalah pada nilai-nilai kesetaraan dan keadilan.

Dari peristiwa sejarah dunia ini kita belajar bahwa semakin merambahnya cengkeraman agama pada segala sendi kehidupan publik (kenegaraan) akan selalu melahirkan berbagai bentuk resistensi. Karena memang dalam tatanan kebhinekaan (yang pasti juga ramai dan meriah), tidak bisa dipaksakan suatu monotonia (satu nuansa yang amat membosankan). Memang, kebebasan dan rasionalitas cenderung akan kritis terhadap agama. Praktek keagamaan adalah urusan privat (dan untuk komunitas tertentu saja), negara tidak perlu ikut campur. Negara mengurus hal yang berkaitan dengan kehidupan bersama masyarakat sebagai warga suatu negara yang aman, damai dan adil-sejahtera.

Untuk itu, kita memang perlu keberanian dan kebesaran hati, sama seperti para Bapak Bangsa (founding fathers) kita saat menolak Piagam Jakarta dan menetapkan Pancasila seperti yang kita punya sampai saat ini. Mari amalkan Pancasila secara konsekuen supaya jadi teladan bagi generasi emas Indonesia sebentar lagi. Semua Undang-undang dan segala peraturan daerah yang berbasis agama, sudahlah hapus saja!

15/12/2019
Andre Vincent Wenas, DRS,MM,MBA., Sekjen Kawal Indonesia – Komunitas Anak Bangsa