Menggugat Sistem Kepemimpinan Dikotomi Etnis

Teks: M. Rafik Perkasa Alamsyah. (Foto: Istimewa).

Lahirnya Indonesia berkat kesepakatan bangsa-bangsa nusantara yang pada saat itu masih berbentuk wilayah-wilayah kerajaan. Indonesia pada masa itu masih berbentuk kerajaan-kerajaan dan kesultanaan-kesultanan yang dipimpinan oleh seorang Raja atau Sultan sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahaannya. Contohnya, kita mengenal beberapa kerajaan yang pernah Hadir dan masih ada di pulau Sumatera, diantaranya: Kesultanan Aceh (1496-1903 M), Kerajaan Aru/Haru (Abad 13-16 M), Kesultanan Barus (1524-1668 M), Kesultanan Deli (1632-1946 M), Kerajaan Dharmasraya (1183-1347 M), Kesultanan Samudera Pasai (1267-1521 M), Kerajaan Pagaruyung (1347-1825 M), Kerajaan Inderapura (1347-1792 M), Kesultanan Palembang Darussalam (1550-1823 M), Kesultanan Siak Sri Indrapura (1723-1945 M), Kesultanan pelalawan (1725-1946 M), Kerajaan Sriwijaya (600-1100-an M),

Negara yang hadir melalui kesepakatan semua bangsa Indonesia yang berasal dari pemuda kedaerahan dinataranya Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumateranen Bon, Sekar Rukun, Pemuda Kaum Betawi yang melahirkan Sumpah Pemuda. Kesepakatkesepakatan lahirnya Negara Indonesia sebagai sebuah kesatuan bangsa, juga diperkuat dengan pertemuan 39 raja-raja nusantara di Istana Tampaksiring, Bali pada tahun 1927. 39 Raja yang hadir merupakan representasi dari semua Kerajaan termasuk juga raja-raja kecil yang tersebar diseluruh nusantara sebagaimana untuk kawasan Sulawesi yang diwakili oleh Puang Mua. Bahkan tiga raja diantaranya adalah raja-raja dari melayu yang saat ini membentuk Negara Bernama Malaysia.

Pertemuan yang menghasilkan semacam traktat antara kerajaan se-Nusantara bukanlah sekedar suatu perjanjian politik yang bersifat taktis sebagai bagian daripada duduk bersama untuk memikirkan persolan bangsa-bangsa Nusantara yang pada saat itu sedang melakukan upaya bahu-membahu untuk mengusir Intevensi atau Penjajahan di bumi Nusantara. Namun juga lebih dari itu merupakan suatu perjanjian politik atas lahirnya bangsa baru dengan bahasa baru, Sehingga apa yang dihasilkan antara dari kesepakatan kongres pemuda 1 dan 2 serta konsolidasi raja-raja nusantara pada saat itu menghasilkan yang sama yaitu kesepakatan bertumpah darah satu, tanah Indonesia, Berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Ketiga kesepakatan yang dihasilkan tersebut, juga berdasarkan kepada 5 hal utama yang juga tertuang dalam Piagam Kongres Pemuda Indonesia, yaitu: Kemauan, Sejarah, Bahasa, Hukum Adat, Pendidikan dan Kepanduan.

Peran semua bangsa nusantara yang bersama-sama melakukan kesepakatan akan lahirnya Negara dan bangsa Indonesia. Hal tersebut seharusnya bisa lebih mampu untuk menempatkan segala sumber daya manusia yang berada dan lahir dari seluruh wilayah kesatuan Indonesia sebagai kekuatan dasar dari pertahanan bagi NKRI.

Dikotomi salah satu etnis, pulau dalam dalam sebuah kontestasi kepempinan Bangsa Indonesia harus mulai dikikis perlahan. Konstitusi Indonesia harus sudah mulai menyusun formulasi agar semua anak Bangsa bisa hadir dalam kepemimpinan Bangsa Indonesia sehingga dikotomi etnis dan suku tertentulah yang bisa memimpin Indonesia harus sudah mulai bisa ditinggalkan.

Indonesia adalah negara berbentuk negara kesatuan dengan prinsif otonomi daerah yang luas. Negara kesatuan adalah bentuk negara berdaulat yang diselenggarakan sebagai suatu kesatuan tunggal. Bentuk pemerintahan negara Indonesia adalah Republic Konstitusional, sedangkan system pemerintahan negara Indonesia adalah system Presidensial. Bentuk pemerintahan Indonesia adalah system presidensial. Bentuk pemerintahan republik merupakan pemerintahan yang mandat dan kekusasaannya berasal dari rakyat, melalui mekanisme pemilihan umum dan dipimpin oleh seorang Presiden (Indonesia.go.id)

Dalam Pemilu Presiden dan wakil presiden bahwa sebuah keterpilihan diatur dalam pasal 6A ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, “Pasangan Presiden yang mendapatkan suara lebih dari dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara disetiap provinsi yang tersebar dilebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia dilantik menjadi presiden dan wakil presiden”.
Sebagai negara yang menganut asas demokrasi, penting bagi warga Indonesia untuk memiliki sebuah proses untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu termasuk proses pengisan Jabatan Presiden. Proses tersebut kita kenal sebagai pemilu atau pemilihan umum. Pemilu menjadi penting karena pemilu merupakan instrument penentu arah kebijakan publik suatu negara.

Sejak merdeka pada 1945 hingga saat ini kursi Presiden Republik Indonesia hampir selalu dipegang politisi berdarah jawa. Mulai dari Soekarno yang berasal dari Blitar, Soeharto dari Bantul, Abdurahman Wahid dari Jombang, Megawati Soekarnoputri kelahiran Yogyakarta, Susilo Bambang Yudhoyono dari Pacitan, dan Joko Widodo asal Surakarta.

Satu pengecualian adalah BJ Habibibie, beliau menggantikan Soeharto yang mundur dari Jabatannya pada tahun 1998. Hingga saat ini, pria kelahiran Parepare, Sulawesi Selatan itu menjadi satu-satunya Presiden Indonesia yang bukan beretnis Jawa.

Penomena kepemimpinan politik yang berasal dari orang jawa yang dominan, apakah menunjukkan sumber daya manusia luar jawa tidak mumpuni untuk memimpin bangsa Indonesa? Sesungguhnya ini terjadi, menurut Dosen Departemen Ilmu Politik, Universitas Gajah Mada, Made Sukmajati, Kompas.com (13/8/2018), menyebutkan, kondisi tersebut dipengaruhi dua hal besar, yaitu: Terkait parpol yang mencalonkan dan Prilaku memilih masyarakat.

Sementara itu, Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia, Aditya Perdana, Kompas.com (13/8/2018), memiliki pendapat yang berbeda. Presiden Indonesia yang hampir selalu beretnis Jawa, menurut Adit disebabkan dominasi pemegang suara yang berada di pulau terpadat di Indonesia. Fakta memang memang membuktikan, bahwa sebegian besar pemilih itu ada di Jawa, jadi artinya ketika berbicara tentang politik identitas, maka alasan itu masuk akal, bahwa keterpilihan pemimpin yang berasal dari Jawa, bisa dipastikan dikarenakan konsentrasi kepadatan penduduk yang sebagian besar berada di pulau jawa.

Merujuk pada keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia dalam pemilihan Umum, sudah benar apabila system pemilihan kita yang menganut system pemilu proporsonal distrik. Sistem
Porposional mengacu peran serta masyarakat dalam penentuan Presiden berdasarkan proses partisipasi Pemilih dan pengertian distrik dalam pemilu mengacu pada jumlah dukungan pada daerah pemilihan bukan berdasarkan jumlah penduduk pada daerah pemilihan. Sehingga bisa disimpulkan bahwa hasil dari proses jumlah dukungan dari berapa banyak daerah atau distrik dari keterpilihan calon Presiden yang dihitung, sehingga pemimpin yang dihasilkan mengacu pada dukungan distrik atau daerah pemilihan bukan pada jumlah perbandingan suara mata pilih dari setiap daerah pemilihan.

Mirip dengan Indonesia, Mayoritas Pemimpin dan wakil rakyat di Amerika dipilih secara langsung. Dinegeri Paman Sam ini, suara yang masuk dihitung secara proporsonal. Artinya, jumlah suara yang diperoleh calon berbanding lurus dengan jumlah warga yang memilihnya. Sistim Pemilu Amerika Serikat menerapkan system distrik dalam pemilihan umum. Sistim ini berdasarkan lokasi daerah pemilihan, bukan berdasarkan jumlah penduduk.

Dari semua calon, di setiap daerah pemilihan hanya akan ada satu pemenang. Dengan begitu, daerah yang sedikit penduduknya memiliki persentase yang sama dengan daerah yang banyak penduduknya. Makna keadilan sosial disini bisa diartikan, bahwa kesetaraan dalam partisipasi pemilu jangan hanya dilihat dari besarnya jumlah penduduknya, tapi bagaimana pemerintah juga menghargai kontribusi sumber daya alam dari luar pulau Jawa yang begitu besar untuk pembangunan negara Indonesia.

Salah satu contonya, pulau Sumatera memiliki berbagai kekayaan alam yang berasal dari sector alam. Dalam bahasa sansekerta pulau ini juga dikenal dengan nama swarnadwipa yang artinya pulau emas. Pada prasasti Padang Roco (1286), telah dipahatkan suwarnabumi dan bhumi melaya, artinya bahasa sansekerta ini yaitu tanah emas dan tanah melayu.

Pulau Sumatera mempunyai kekayaan sumber daya alam yang melimpah ruah, yang dapat dimanfaatkan untuk sepenuhnya kesejahteraan bangsa Indonesia dan bisa menjadi lumbung pendapatan negara. Sumber daya alam tersebut dibagi dalam bentuk sumber daya alam hayati dan dan non hayati.

Sumber daya alam hayati yang berasal dari pualu sumatera meliputi kopi yang berasal dari Aceh dan Sumatera Utara, kina yang berasal dari Sumatera Barat dan Kerinci, kelapa sawit yang berasal dari Sumatera Barat dan Sumatea Utara, Kayu Manis yang berasal dari Sumatera Barat dan Jambi, Cokelat dan kakao yang berasal dari Lampung, Karet yang berasal dari Riau, Sumatera Utara dan juga Aceh, Minyak Atsiri, Ikan dan udang yang dihasilkan oleh Riau dan Provinsi Riau, Cengkeh yang dihasilkan Kota Jambi.

Sumber daya non hayati terdiri dari, Gas alam yang banyak didapat dari daerah Natuna, Kepulauan Anambas, dan juga Arun, Timah yang dihasilkan oleh Tanjung Pinang Kepulauan Riau, Batu Bara dan Semen yang diketahui banyak dihasilkan Sawah Lunto Sumatera Barat dan Tanjung Enim Sumatera Selatan, Minyak Bumi yang salah satu terbesarnya dihasilkan dari Pulau Sumatera yaitu Sumtera Selatan, Sumtera Selatan, dan Riau.

Melihat beberapa pertimbangan tersebut, perlunya melakukan pengkajian kembali tentang system pemilihan umum yang ada di Indonesia mengacu pada proses pemilihan umum proposional distrik sehingga Pemimpinnya melahirkan refresentasi dukungan terpilih dihitung berdasarkan jumlah distrik atau dapil yang menjadi mayoritas pemilihnya, karena jumlah perolehan suara satu daerah pemilihan akan di hitung satu dukungan untuk satu distrik atau satu poin kemenangan, sehingga kedepan tidak akan ada lagi konsentrasi suara pemilihan hanya terpokus pada wilayah yang penduduknya sangat padat.

Penulis
M Rafik Perkasa Alamsyah
Ketua Umum Ikatan Pemuda Pemudi Minang Indonesia