Majelis Tolak Gugatan Korban First Travel, Aktivis Perlindungan Konsumen Bersuara

Erison A.W

TOPIKINI – Atas ditolaknya gugatan konsumen First Travel oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Depok, Senin (2/12/2019) lalu, Erison A.W., anggota Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat LPKSM) Padang Consumer Crisis, berkomentar. Berikut ini, pendapat Erison A.W., terhadap perkara atas gugatan korban First Travel tersebut:

Tulisan ini bukan tidak berpihak kepada Konsumen korban First Travel, tapi sebaliknya saya sangat berempati kepada para korban kerakusan pelaku usaha nakal. Pesan, bagi siapa saja yang mendampingi kosumen tersebut perlu memahami substansi permasalahannya. Apakah ini masalah sangketa konsumen atau masalah perbuatan melawan hukum. Hal ini agar konsumen merasa puas.

Senin 2 Desember 2019, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Depok, Ramon Wahyudi, membacakan putusan gugatan Konsumen Jasa Umroh First Travel, Suhartaty, Hj Ira Faizah, Devi Kusrini, Zuherial, dan Ir Ario Tedjo Dewanggono.”Menolak gugatan, karena cacat formil dan penggugat tidak bisa membuktikan, apakah Gugatan ini dilayangkan oleh jemaah atau oleh agen travel.”

Sebagai anggota Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, saya menilai penggugat (mohon maaf) tidak memahami substansi permasalahannya. Padahal ini murni masalah sangketa konsumen, Bukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH).

“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau Jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.” (Pasal 1 ayat (2) Undang undang Perlindungan Konsumen (UUPK))

Maka “Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sangketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.” (Pasal 45 ayat (1) UUPK)

Jika gugatan ganti kerugian didasarkan peristiwa perbuatan melawan hukum wajib dibuktikan adanya perbuatan melawan hukum. Diantaranya pelanggaran hak-hak konsumen, pelanggaran norma kesusilaan, maupun pelanggaran norma kepatutan. Juga adanya sejumlah kerugian yang diderita konsumen.

Salah satu alasan penolakan Majelis Hakim PN Depok mengenai ganti rugi, “Menimbang bahwa para penggugat mendalilkan dalam gugatan mengalami kerugian total Rp 49.075.199.550, tetapi ternyata setelah dijumlahkan seluruhnya ternyata bukti-bukti yang diajukan penggugat hanya sebesar Rp 1.104.250.756,” kata Ramon membacakan amar putusan.

Bahwa ganti rugi dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen hanya berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Gugatan ganti rugi tidak menutup kemungkinan adanya gugatan pidana bagi pelaku usaha.

Saya sependapat dengan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang mengimbau korban First Travel agar melakukan gugatan class action terhadap Kementerian Agama (Kemenag). Pasalnya, Kemenag dianggap tidak menjalankan fungsi pengawasan yang baik sehingga menyebabkan banyak calon jemaah First Travel terancam gagal berangkat umrah.

Dan salah satu Lembaga yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan gugatan Class action adalah Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM).

Namun kita juga menyayangkan Putusan Majelis tersebut yang menolak gugatan konsumen. Seharusnya majelis bisa menangkap spirit dari Undang-undang Perlindungan Konsumen yang hingga kini masih banyak belum mendapat kepastian hukum.

Penulis: Erison A.W. Anggota Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Padang Consumer Crisis dan Mediator Bersertifikat Menkumham R.I.