Kenapa Istana Di Demo? Bukankah Kau dan Aku

Oleh: Muliansyah Abdurrahman Ways

Istana.?, kata Istana ini selalu menjadi keramat bagi rakyat, kesakralan bagi rakyat, keindahan bagi rakyat dan tanda kehormatan rakyat untuk raja atau pemimpinya. Merujuk dari defenisi istana tentu merupakan sebuah bangunan besar atau mewah yang biasanya didiami oleh keluarga kerajaan, keluarga kepala negara atau petinggi anggota kerajaan lainnya serta tempat utama kepala pemerintahan.

Kita melihat istana juga kadang-kadang dipakai untuk merujuk kepada gedung besar yang merupakan pusat suatu lembaga, suatu kehormatan negara atau kerajaan, misalnya di Inggris ada Istana Buckingham, Istana yang dulu milik kerajaan Mulberry hingga tahun 1837 di beli oleh seorang bangsawan Buckingham untuk seorang Ratu Inggris hingga sekarang ini. Kemudian Istana megah milik St. Petersburg di Rusia, Istana tertua di dunia yaitu Istana Nurul Iman di Brunei Darussalam dan Istana Louvre di Parancis yang juga di pakai buat tempat tinggal anggota keluarga kerajaan Prancis.

Di Indonesia, Istana selalu menjadi tameng bagi masyarakat, sebaliknya Istana dijadikan symbol kekuasaan bagi petinggi negara ini, padahal kalau kita telisik lebih dalam dan lebih substansi bahwa Istana adalah tempat kehormatan bagi pemimpin negara yakni Presiden RI dari periode ke periode. Bukankah penyampaian aspirasi ada pada tempatnya, bukan soal OMNIBUSLAW, bukan soal substansi aspirasi rakyat Indonesia, tetapi penulis lebih pada melihat sisi kebijaksanaan politik dan sebuah tanda kehormatan bagi pemimpin negara yaitu di istana yang megah dan istimewah itu.

Hampir kehilangan kehormatan ketika Istana menjadi tameng aspirasi, Istana menjadi musuh rakyat, Istana menjadi tak memiliki akal sehat dan Istana pun sudah menjadi peran benda mati yang selalu tercurahkan jutaan aspirasi. Apakah memang Istana adalah benda mati yang dijadikan symbol menerima aspirasi, tentu orang kebanyakan sudah tahu bahwa disanalah ada seorang Presiden dan anggota keluarganya, disana adalah tempat istirahatnya Presiden serta di tempat itu pulah ada kehormatan negara atas bangunan mati yang megah itu.

Meminjam istilah seorang ilmuan dunia Jalaluddin Rumi mengulas Betapa bahagia saat kita duduk di Istana, kau dan aku, Dua sosok dan dua tubuh namun hanya satu jiwa, kau dan aku. Kata Rumi yang dimaksudkan agar Istana itu bukan tempat mengganggu dan ketidaknyamanan bagi setiap pemimpin negara yang tinggal menjadi symbol kehormatan negara ini.

Begitu terhormatnya Istana, sehingga Rumi pun menyebut tempat bagi “kau dan aku dalam kebahagiaan hidup”, artinya Istana untuk tempat bagi kebahagiaan orang, bukan tempat untuk tidak nyaman bagi kehidupan siapa saja. Namun bole saja di Indonesia masih belum membangun Kulture Istana sebagai gedung teristimewah seperti Kraton – kraton di Indonesia yang tidak pernah di Demo oleh rakyatnya.
Memang hidup di Negara Demokrasi bukan berarti tidak ada tempat yang tidak nyaman bagi petinggi negara, tetapi negara mampu membangun kultur hukum yang lebih kuat, sehingga tempat – tempat penghormatan menjadi istimewah bagi masyarakat dan pemimpin Indonesia seperti Sultan yang tinggal di Kraton.
Artinya bukan berarti kita menjadikan Istana sebagai tempat untuk “menembak” para pendemo, bukan berarti istana juga membangun kerajaan – kerajaan baru di negara demokratis, serta bukan juga membangun fasisme politik, tetapi Istana harus dikembalikan pada substansi benda mati – hidupnya, agar Istana seperti kata Jalaluddin Rumi antara kau dan aku.

Apalagi kalau Istana hanya di jadikan symbol kuasa politik, maka yang namanya kekuasaan, symbol benda matipun tetap saja menjadi batu sandungan untuk menyerang pemerintah yang aktif, apapun bentuk Istana tetap saja kehilangan aurah kehormatanya, sehingga fungsi lembaga – lembaga negara lain juga ikut tak berfungsi, karena semuanya pertanggungjawaban ada di eksekutif.

Legislatif Kehilangan Fungsi

Siapa lembaga legislative itu?, Ia adalah DPR, DPD dan MPR, siapakah Ia perwakilan rakyat itu?, Ia adalah DPR dan DPD yang semuanya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat, berfungsi dan bertugas melanjutkan aspirasi rakyat, namun aspirasi rakyat tak terkabulkan, semuanya akan menunjukkan matanya ke Presiden RI.

Padahal ide dan gagasan jugapun Presiden hanya memberikan usulan bila berbentuk satu peraturan setingkat UU, lantas kenapa Rakyat akhir – akhir ini juga memberikan perhatian kepada Presiden, kepada Menteri, kepada Gubernur dan Walikota / Bupati.

Apakah karena tugas DPR RI sudah selesai, sehingga tinggal Presiden yang mengakhiri satu peraturan tersebut.
Disini tentu penulis mengajak para pakar untuk melihat fenomena politik yang berujung pada Presiden, ibaratnya tugas DPR sudah selesai, benarkah tugas DPR sudah selesai.?, tapi kenapa Istana masih di demo, kalau seandainya tugas DPR selesai, atau tugas wakil rakyat sudah selesai, tapi kenapa Istana masih mejadi alur utama para pendemo.

Teori politik mana yang harus kita gunakan lagi bila melihat Istana masih di demo, Istana ?, bukan menjadi istimewah di mata rakyat, istana bukan menjadi terhormat di mata rakyat, tetapi kini istana terus di demo, kapanpun Istana akan di demo, bila fungsi DPR tidak di kembalikan, atau inilah yang namanya demokrasi, pemimpin legislative hanya aspiratif dan pemimpin eksekutif wajib menerima apapun bentuk aspirasinya.

Apirasi di negara demokrasi itu sudah di atur mekanismenya, bahwa DPR lah yang diwakilkan aspirasinya, karena mereka wakil rakyat dan mereka juga sebagai wakil daerah seperti DPD. Sehingga mekanisme aspirasinya lewat lembaga – lembaga seperti itu sebagaimana tercantum tugas – tugas wakil rakyat dan wakil daerah di dalam satu majelis MPR.

Kalau fungsi ini berjalan, tentu Istana pun akan kurang di demo bahkan tidak ada, kalau DPR pun kritis seperti kritis para mahasiswa, LSM, Ormas, Buruh dan masyarakat pada umumnya, karena aspirasi harus sudah terkumpul di semua wakil rakyat terhormat itu. Mereka adalah penyambung lida rakyat, mereka adalah forum terhormat untum membangun kesepakatan politk untuk rakyat Indonesia.

PENULIS: Muliansyah Abdurrahman Ways, Pelaku Usaha, Peneliti Pasifik Resources & Mahasiswa Doktor Ilmu Politik UNAS

Jakarta, 17 Oktober 2020