Jokowi, Riau dan Hengkangnya Chevron dari Blok Rokan

Ton Abdillah Has Putra kelahiran Kuantan Singingi, Riau.

Ketum Angkatan Muda Majelis Dakwah Islamiyah, dan Ketua Dep. Pendidikan dan Cendekiawan DPP Partai Golkar

Pada akhir Juli 2018 lalu, sebuah keputusan berani dan strategis telah diambil pemerintah Indonesia dengan tidak memperpanjang kontrak Chevron dalam pengelolaan Blok Rokan, Riau, lalu menyerahkannya pada Pertamina mulai Agustus 2021 mendatang. Blok Rokan adalah satu dari 12 blok migas yang terminasi dalam tiga tahun terakhir dan dialihkan pengelolaannya pada operator nasional. Akibat keputusan ini, berakhirlah sudah penguasaan lebih dari 60 tahun korporasi migas raksasa asal Amerika di bumi Melayu, Riau.

Blok Rokan adalah salah satu blok terbesar di Indonesia dengan sisa cadangan ditaksir 500 juta – 1,5 milyar barel minyak. Mengacu pada data realisasi APBN 2018, Blok Rokan masih mampu memenuhi realisasi lifting 209 ribu barel per-hari (bph), tertinggi di Indonesia atau 26% dari realisasi nasional. Lewat perhitungan ala kedai kopi saja, dengan asumsi harga minyak 48 USD/barel dan kurs 13.400 rupiah pada APBN 2018, maka Blok Rokan menyumbang sekira 5 trilyun rupiah.

PT. Chevron Pacific Indonesia (CPI), tadinya bernama Caltex, menemukan kandungan minyak di Blok Rokan sejak era kolonial. Eksplorasi Caltex tahun 1939 menemukan cadangan 6 milyar barel di lapangan Minas dan Duri. Lapangan Minas berproduksi terlebih dahulu sejak 1958, dan kontrak eksploitasi Caltex di Blok Rokan dengan durasi 30 tahun dikukuhkan sejak 1971. Pada 2001, kontrak Chevron diperpanjang 20 tahun hingga 2021. Sejak beroperasi, total produksi Blok Rokan mencapai 2,8 milyar barel, dan pernah mencapai puncak produksi pada masa booming harga minyak dunia dengan kapasitas produksi 440 ribu bph.

*Riau, di Bawah Minyak di Atas Minyak*

Provinsi Riau dikenal sejak lama sebagai daerah penghasil minyak bumi, dimana Blok Rokan merupakan blok terbesarnya. Keberadaan blok minyak raksasa ini membuat warga Riau sering dipandang sebagai warga dengan ekonomi kelas satu. Hal ini barangkali disebabkan tampilan keluarga para pekerja Caltex di perantauan yang memang menerima kesejahteraan baik dari perusahaan tempat mereka bekerja. Cawapres Sandiaga S. Uno adalah satu diantaranya, bahkan Sandi lahir di Riau karena bapaknya bekerja di Chevron.

Stigma tersebut kian menguat setelah kehadiran raksasa perkebunan kelapa sawit, tanaman penghasil minyak nabati berkembang luas di seluruh pelosok Riau. Luasan perkebunan sawit ini membuat produksi Crude Palm Oil (CPO) Riau terbesar di Indonesia. Namun dibandingkan efek sektor migas yang terkonsentrasi hanya di wilayah operasi Chevron, yaitu Minas, Duri dan Rumbai, perkebunan kelapa sawit yang menyebar lebih memberi efek pada ekonomi masyarakat Riau. Karena dua alasan ini, jadilah Provinsi Riau populer dengan sebutan “negeri di bawah minyak, di atas minyak”.

Sebutan tersebut seyogyanya patut disyukuri, namun di sisi lain menimbulkan kekecewaan. Warga Riau merasakan ketidakadilan mendalam akibat minimnya keterlibatan penduduk asli Riau dalam bisnis minyak di kampung mereka sendiri, serta minimnya alokasi pembangunan untuk Riau sebagai provinsi petro-dollar. Berbagai indikator menunjukkan ketertinggalan Riau, seperti buruknya infrastruktur, tingginya angka kemiskinan, serta masih rendahnya kualitas sarana pendidikan dan kesehatan.

Kekecewaan tersebut pernah diekspresikan dalam bentuk opsi memerdekakan diri lewat Kongres Rakyat Riau II tahun 1999. Ancaman Riau merdeka kembali muncul saat desakan pelibatan pemerintah daerah dalam usaha migas tahun 2001. Akibat protes massif, akhirnya pengelolaan Blok CPP yang semula juga dibawah Caltex diberikan pada BUMD Migas pertama di Indonesia milik pemerintah daerah, PT. Bumi Siak Pusako (BSP) bersama Pertamina Hulu sejak Agustus 2002. Hingga kini, meski agenda “Riau Merdeka” hanya semata manuver politik tanpa tanda implementasi, tuntutan diberikannya Otonomi Khusus masih menyala di tengah masyarakat Riau.

Sejak era reformasi, rakyat Riau sebenarnya mulai menikmati Dana Bagi Hasil (DBH) Migas berdasarkan UU nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Tercatat, DBH Migas Provinsi Riau pada APBN 2019 sebesar 1,3 trilyun rupiah, sedangkan dua Kabupaten penerima DBH Migas terbesar adalah Kab. Bengkalis sebesar 1,3 trilyun dan Kab. Siak sejumlah 600 milyar. Geliat pembangunan Riau nampak cukup akseleratif sejak diterapkan nya DBH sumber daya alam, khususnya dari sektor migas.

*Berkah Jokowi untuk Masyarakat Riau”
www.uhamka.ac.id/reg
Keputusan pemerintahan Presiden Jokowi yang mengakhiri kerjasama dengan Chevron di Blok Rokan awalnya tidak banyak diketahui masyarakat Riau. Boleh jadi hal ini disebabkan keputusan tersebut dibuat tanpa kehebohan, sehigga tak muncul euforia “kemenangan” seperti pada perebutan CPP Blok yang diawali demonstrasi besar pada tahun 2001.

Presiden Jokowi sendiri mengakui tidak lah mudah melakukan terminasi kontrak raksasa migas Amerika tersebut. Namun karena pertimbangan bisnis dan prinsip kedaulatan atas migas nasional, Blok Rokan serta sejumlah blok migas lain di Indonesia diserahkan pengelolaannya pada operator dalam negeri. Selain mengundang keikutsertaan Pemda, Jokowi juga menghimbau kesiapan putra daerah dalam operasi Blok Rokan.

Keputusan berani Presiden Jokowi soal Blok Rokan juga bernilai ganda, karena selain komitmen menyertakan pemerintah daerah dan putra daerah dalam pengelolaan Blok Rokan, pengelolaan CPP Blok juga akan diserahkan 100% pada BSP mulai 2022 mendatang. Seperti diketahui, pada kontrak 20 tahun pertama, BSP mengelola CPP Blok bersama Pertamina Hulu dengan komposisi saham 50%-50%.

Berkat pengelolaan Pertamina di Blok Rokan selama 20 tahun sejak 2021, pemerintah akan mendapatkan peningkatan bagi hasil menjadi 48% atau senilai 825 trilyun. Berkat dikembalikannya Blok Rokan pada Pertamina, Pemda juga dapat ikut serta minimal dengan saham 10%. Keikutsertaan Pemda ini masih dapat meningkat melalui negosiasi dengan pemerintah pusat, yang bukan lah hal terlarang di era demokrasi seperti sekarang ini.

Minimnya DBH Migas yang diterima Provinsi Riau dan Kabupaten/Kota se-Riau sejak diberlakukan nya UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah sejatinya juga masih bisa dinegosiasi. Toh, era Jokowi telah nyata menunjukkan, rezim pertama yang transfer daerahnya lebih besar ketimbang belanja pemerintah pusat sejak APBN 2016. Bahkan, alokasi dana desa hingga 1 milyar setahun, hal yang barangkali tak terpikirkan sebelumnya oleh kita, direalisasikan ada pemerintahan Jokowi.

Kini, tentu berpulang pada masyarakat Riau sendiri, mengekspresikan rasa terima kasih atas “berkah Jokowi” tersebut sembari terus menerus bekerjasama dan menegosiasikan kepentingan dengan pemerintah pusat, sehingga “kemenangan harga diri” dan “hadiah” atas bakal terus membesarnya alokasi anggaran untuk provinsi petro-dollar ini kian berfaedah bagi kemaslahatan masyarakat Riau yang lama tertinggal dan terabaikan.