Delegitimasi Pemilu 2019 Adalah Upaya Melupakan Sejarah Lahirnya UU Pemilu

TOPIKINI – Peneliti LSI, Ikrama Masloman, berpendapat bahwa diperlukan adanya kesadaran publik untuk melakukan verifikasi terhadap informasi-informasi yang diterima. Fenomena masyarakat yang menjadi hakim bagi sesamanya dibuktikan dengan banyaknya sweeping yang dilakukan oleh publik sehingga menuntut adanya legal standing media yang kuat.

*Harus ada kesadaran publik bahwa betapa seremeh apapun ilmu yang kita dapat, kita harus mampu mengcrosschecknya. Inilah yang harus menjadi catatan bersama,” ujar Ikrama dalam acara Deklarasi Tolak Delegitimasi dan diskusi publik Kaukus Muda Indonesia (KMI) bertema Peran Literasi Media Menolak Upaya Delegitimasi Pemilu 2019, Senin (20/5/2019) di kantor KMI, Salemba, Jakarta.

Tak kalah pentingnya, lanjut Ikrama, media tak hanya mengutamakan sisi publisitasnya saja, namun harus memberikan edukasi kepada publik agar memferivikasi dan menjelaskan efek publikasi jika tidak dilakukan cross check. Selain itu, Ikrama meminta media memiliki Goodwill untuk kembali ke ranah jurnalisme dan tidak menjadi partisan kelompok tertentu.

Ungkapan sama disampaikan Auri Jaya, Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia, bahwa media sosial yang saat ini menjadi idola masyarakat, secara bebas dan terbuka masyarakat dapat menyampaikan pendapat maupun mendapatkan informasi.

“Di era digital saat ini, yang berperan adalah media sosial, sehingga dibutuhkan sebuah regulasi untuk mengaturnya. Ketika ada kasus, pemilik media sosialnya harus ikut bertanggung jawab. Saya berharap dalam menggunakan media sosial harus tetap mengedepankan etika,* imbuhnya.

Sementara itu, politisi Partai Kebangkitan Bangsa, Lukman Edi berpendapat, narasi-narasi yang dibangun terhadap penyelenggara pemilu yang dinilai tidak netral, seharusnya sejak awal melihat regulasinya.

“Sebagaimana diketahui bahwa regulasi pemilu 2019 ini dilakukan secara terbuka. Seharusnya jika ada kritik terhadap regulasi, dilakukan sejak awal. Jika kritik dilakukan saat ini, saya kira sudah melupakan sejarah dibentuknya regulasi tersebut,” tuturnya. (red)