TOPIKINI.COM – Pantek ternyata tidak hanya menimbulkan masalah pada bidang agama dan adat, tapi juga dari segi bahasa. Pada Oktober 2015, seorang teman menuliskan kegelisahannya di Facebook tentang pemakaian kata pantek dalam berita.
“Lagi, kata bacarauik, pantek, seperti sudah lazim digunakan media-media berbasis di Jakarta, walau kata ini perumpamaan kekesalan dan tabu untuk diucapkan di depan banyak orang. Ahli bahasa harus merevisi ini,” demikian kalimatnya. Status itu ia tulis dengan menyertakan unggahan foto berita di Media Indonesia, 9 Oktober 2015, yang berjudul “Petani Solo Raya Beralih ke Sumur Pantek”.
Lalu, seseorang mengomentari status itu dengan mengatakan bahwa makna kata “pantek” dalam KBBI mestinya ditambah satu lagi: makian, sehingga menjadi pertimbangan bagi pengguna bahasa untuk menggunakanannya. Kata ini bukan hanya makian untuk 5 juta orang di Sumatra Barat, tapi juga untuk 15 juta pertantau Minang di seluruh Indonesia dan dunia. Bahkan, termasuk jutaan lainnya warga Riau.
Karena kata tersebut digunakan oleh jutaan masyarakat dalam bahasa ibunya (terutama bahasa Minang yang dulu menjadi salah satu sumber bahasa Indonesia), mestinya jadi pertimbangan bagi Pusat Bahasa.
Yang menulis status dan yang mengomentarinya adalah wartawan salah satu media nasional. Teman yang berkomentar tersebut kembali mengemukakan pertanyaan yang sama di grup Koalisi Wartawan Anti Kekerasan (KWAK), grup wartawan di Sumatra Barat di WhatsApp, beberapa waktu lalu. Ia ingin mengusulkan ke Badan Bahasa makna tambahan dari pantek agar dicantumkan di KBBI Edisi Kelima, tapi ia tidak tahu caranya.
Saya lalu menunjukkan caranya, yakni mengusulkan kata tersebut besarta maknanya di kanal Pengayaan Kosakata Bahasa Indonesia di situs badanbahasa.kemendikbud.go.id.
Kembali pada persoalan kata pantek, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pusat Bahasa Edisi Keempat (Gramedia, 2008), pantek (kata benda) berarti pasak; paku semat. Memantek (kata kerja) ialah melekatkan (kayu, bambu, dan sebagainya) dengan pantek; memasak. Terpantek (kata kerja) berarti terpasak; (ki) tertancap (tentang pisau, paku, dan sebagainya.
KBBI memberikan contoh kalimat, “Tepat di tengah pohon mangga itu terpantek sebuah pisau.” Pada Tesamoko (Tesaurus Bahasa Indonesia) Edisi Kedua (Gramedia, 2016) susunan Eko Endarmoko dan Gerombolan Tesamoko, juga terdapat pantek (bahasa Jawa) dengan sinonim baji, pasak. Memantek; memasak.
Arti pantek dalam bahasa Minangkabau berbeda dengan makna dalam KBBI. Dalam Kamus Bahasa Minangkabau-Indonesia Balai Bahasa Padang (Pusat Bahasa Depdiknas, 2009), pantek (kata benda) adalah: (1) kemaluan perempuan; puki; (2) umpatan kasar; kata-kata kotor; carut.
Menurut saya, ini hanya persoalan logika bahasa. Kalau kita sedang berbahasa Indonesia, kita hendaknya memakai logika bahasa Indonesia, walau kata yang sama terdapat dalam bahasa lain dengan artian yang berbeda. Dalam bahasa Indonesia, persoalan kata yang sama dengan makna berbeda disebut homonim.
KBBI memerikan homonim dengan arti kata yang sama lafal dan ejaannya, tetapi berbeda maknanya karena berasal dari sumber yang berlainan (seperti hak pada hak asasi manusia dan hak pada hak sepatu).
Saya menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan demikian dalam buku “Kata dan Makna” (ITB Bandung, 1993), karya M M Pubo Hadiwidjoyo, Jumat 22 Juli 2016.
Berikut saya kutipkan tiga paragraf pada sub bab “Makna dan Rasa Makna” dalam buku itu: Makna yang diberikan kepada setiap kata, pun sebenarnya bergantung pada keadaan. Jika makna dapat ditafsirkan sekehendak orang, keadaan akan menjadi sangat rancu.
Untuk menghindarinya, batasan yang jelas memang perlu. Setiap kata seakan-akan memiliki ‘daya’nya sendiri. Kita dapat mengibaratkankanya sebuah magnet. Daya itu mungkin saja besar, tetapi mungkin pula terbatas. Dalam ilmu bahasa orang, orang mengenal yang disebut dengan medan makna atau bahasa Inggrisnya semantic field.
Sampai pada batas tertentu, medan makna ditentukan oleh rasa makna. Perbedaan raa makna merupakan gejala yang sangat lumrah, dan timbul tidak hanya antara daerah yang satu dan daerah yang lain, bahkan antara kelompok penutur bahasa yang satu dengan kelompok yang lain.
Sebuah kata yang di daerah yang satu mempunyai makna yang baik, boleh saja di daerah yang lain memiliki rasa makna yang kurang enak.
Kata “butuh” di daerah Palembang dan Kalimantan barat, misalnya, semula dihindari orang, sama halnya dengan di Malaysia. Di sana orang tidak akan mengucapkannya di muka umum, karena dianggap tidak senonoh; maklum, maknanya alat kemaluan laki-laki.
Demikian pula di daerah pasundan. Orang semula merasa kikuk jika mengucapkan “bujur”, karena dalam bahasa Sunda maknanya pantat. Atau “waduk” yang bahkan dianggap sangat kasar karena maknanya kotoran (tahi). Tetapi kini di Jawa Barat terdapat Waduh Juanda, salah satu di antara waduk besar di dunia dewasa ini.
Kita lihat, betapa tuntutan bahasa nasional yang memiliki rasa makna yang lain akhirnya seakan-akan mendesak rasa makna kata yang bersifat kedaerahan.
Demikianlah. Kalau kita menggunakan logika bahasa lain saat berbahasa Indonesia, kita akan kerepotan saat menemukan homonim, apalagi kalau kata itu berarti “buruk” dalam bahasa lain, seperti kasus pantek itu.
Kita ambil contoh masalah lain. Tempik dalam bahasa Jawa berarti alat kelamin perempuan. Dalam KBBI juga terdapat tempik dengan arti alat kelamin perempuan, yang diberi tanda bahasa Jawa. Arti lain tempik dalam KBBI adalah pekik keras. Orang Jawa akan merasa aneh jika berpikir dengan logika bahasa ibu mereka saat membaca berita berjudul Tempik Sorak untuk Joey Alexander di Grammy Awards 2016 (Beritagar, 16 Februari 2016).
Hal yang sama juga terjadi dengan kata momok dalam bahasa Sunda yang berarti alat kelamin perempuan. Padahal, dalam KBBI artinya hantu (untuk menakut-nakuti anak); sesuatu yang menakutkan karena berbahaya, ganas, dan sebagainya.
Demikian pula jika orang Jawa Timur berpikir dengan logika bahasa ibu mereka ketika membaca berita berjudul “Ganjar Pranowo, Balon Gubernur Jawa Timur”, pasti mereka akan tertawa karena balon di Jawa Timur berarti pelacur.
Atau, bayangkan saja kalau orang Bali membaca berita kuliner yang mengandung kata kenyang, yang dalam dalam bahasa Bali berarti alat kelamin pria. Bayangkan pula orang Madura membaca berita yang berisi kata gembok, yang dalam bahasa Madura berarti alat kelamin pria.
Cadiakpandai.com, 23 Juli 2016