TOPIKINI – Pabrik tekstil tua di Silungkang kota Sawahlunto, Sumatera Barat, kini berjalan bak terseok-seok. Dengan sisa-sisa kemampuan mesin tenun yang sudah berusia tiga perempat abad, perusahaan tekstil ini mencoba terus bertahan dengan corak dan ciri khasnya. Pabrik tekstil milik pejuang perintis kemerdekaan ini, kini masih eksis meski gamang melawan perusahaan tekstil moderen.
Di salah satu sudut bangunan tua di kampung Tanjung Harapan desa Silungkang Tigo kecamatan Silungkang kota Sawahlunto, aktifitas pengolahan benang dilakukan. Benang direndam untuk diberi pewarnaan kemudian dikanji. Pabrik tekstil yang yang sudah berusia 81 tahun ini bernama Taltex atau Talaha Texstil Industry.
Benang yang sudah diwarnai kemudian dijemur di panas matahari. Kemudian proses dilanjutkan dengan pemintalan. Benang-benang yang akan digunakan untuk ditenun, dipintal sesuai warnanya. Pemintalan dilakukan menggunakan mesin yang juga sudah tua. Di bagian ini, pekerjanya kebanyakan ibu-ibu warga Silungkang.
Tahap selanjutnya yaitu penenunan benang-benang dengan mesin tenun yang digerakkan dengan tenaga listrik. Mesin-mesin tua ini jika dipacu nonstop 24 jam, hanya mampu menghasilkan sekitar 30 helai kain. Jika dibandingkan dengan mesin modern tentu saja jauh kalah, yang mampu meghasilkan 160 helai perhari.
Menurut Darson Mustafa, pengelola Taltex, perusahaan tekstil ini dirintis sejak tahun 1939, sebelum Indonesia merdeka. Pemiliknya adalah Talaha Sutan Dilangik, seorang pejuang perintis kemerdekaan dan pemberontakan Silungkang tahun 1927.
Oleh Belanda, Talaha dibuang ke Digoel Papua. Pulang dari Digoel, Talaha belajar tekstil di Bandung kemudian membawanya ke Silungkang pada tahun 1939, dan kemudian berkembang diseluruh Sumatera Barat.
“Pulang dari Digoel, dia (Talaha) tidak langsung pulang, tapi dia belajar tekstil dulu di Bandung. Satu alat mesin tenun bukan mesin itu dibawa, kemudian dikembangkan disini, itulah awal mulanya peusahaan tenun ini berdiri,” kata Darson Mustafa, pengelola Taltex Indsutry.
Darson Mustafa, adalah generasi ketiga yang mengelola Taltex Industry. Kesulitan bahan baku, beratnya bersaing dengan produk tekstil moderen hingga persoalan kemampuan mesin tua yang terbatas, menjadi persoalan rumit yang kini tengah dihadapinya.
“Kemampuan mesin kita hanya 30 helai kain perhari jika dipaksa kerja 24 jam, sedangkan mesin modern bisa sampai 150 hingga 160 helai perhari, mana sanggup kita melawannya. Makanya kita cukup mempertahankan ciri khas kita dengan kain sarung corak gelap ini, meski sedikit peminatnya, tapi ada, yang penting kita bisa terus jalan,” tambahnya.
Darson yakin, dengan prinsip mempertahankan ciri khas yang dimiliki serta berusaha bertahan dengan segala keterbatasan, adalah jurus utama ia bisa terus eksis. Namun darson juga berharap ada peran pemerintah membantu usahanya, setidaknya membeli kain sarung hasil tenunan mesin tuanya, agar usahanya tetap terus berjalan.
Saat ini, taltex memproduksi sekitar 3500 sampai 4000 helai kain sarung perbulan. 70 persen hasil produksinya dijual di Sumatera Utara dan sisanya di Sumatera Barat. Harga satu kain sarung dijual dipasaran berkisar Rp 70 ribu untuk benang kasar, dan Rp 100 ribu untuk benang yang halus, dengan bahan seratus persen katun.(art)