Cinta dengan Songket Minang, Pria Swiss ini Tinggalkan Pekerjaan Arsiteknya

TOPIKINI.COM – Bernhard Bart (71th) asal Swiss, begitu cinta akan kerajinan songket Minangkabau. Hampir seluruh sentra songket di Sumatera Barat sudah ia kunjungi, dan kemarin (27/30 ia tiba di Kawasan Saribu Rumah Gadang (SRG), Solok Selatan.

Kedatangannya di Kawasan SRG berdasarkan kajiannya bahwa Muaralabuh dulunya sebelum perang dunia kedua (1942) merupakan salah satu sentra tenun yang menghasilkan songket yang berkualitas.

“Sebelum perang dunia kedua, ada 15 sentra tenun di Sumatera Barat. Salah satunya adalah Muaralabuh. Saya memiliki 50 koleksi foto songket yang diakui merupakan motif asli Muaralabuh,” ujarnya dengan bahasa indonesia yang lancar.

Kecintaannya pada songket telah dimulai sejak tahun 1977, saat ia berkunjung ke Indonesia untuk pertama kalinya. Dan pada tahun 1996, Bernhard pun memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya sebagai arsitek di Swiss dan mulai meneliti songket langsung di Sumatera Barat.

“Kami sudah berkeliling Asia untuk melihat songket di setiap negara, dan kami berkesimpulan songket Minangkabau adalah yang terbaik,” kagumnya didampingi sang istri Erika Dubler.

Bertempat di Homestay Rumah Gadang 07, kedatangannya disambut oleh Bupati Solok selatan yang diwakili oleh Asisten III, Yul Amri.

“Kami sangat ingin menghidupkan kembali kerajinan tenun di Solok Selatan, karena hal ini mendukung ekonomi kreatif bidang Pariwisata yang sedang gencar-gencarnya kami bangun,” ujar Yul Amri.

Asisten III juga mengungkapkan komitmen Bupati terhadap usaha Bernhard untuk mewujudkan kembali songket khas Solok Selatan.

“Bupati kami sangat mendukung anda, karena hal ini sejalan dengan pembangunan pariwisata di Kabupaten solok selatan,” katanya.

Pada kesempatan tersebut, Bernhard menunjukkan hasil karya songket yang dibuat oleh pemuda-pemudi Minangkabau di studio Palantaloom yang telah tiga tahun ia bangun.

Bernhard Bart memperlihatkan hasil karyanya kepada Bupati Solok Selatan

“Songket ini berbahan sutera ulat dan merupakan replika dari songket jaman dulu yang saat ini berada di Museum Leiden (belanda), Museum di Los Angeles (Amerika Serikat), dan di Museum adityawarman,” tuturnya.

Songket berkualitas tinggi dan sangat halus tersebut ia akui berharga lebih dari Rp 10 juta perhelainya. Dan sangat diminati oleh masyarakat, terutama masyarakat minang yang berada di rantau.

Saat ini, ia juga sudah berhasil membuat alat tenun yang mampu mempercepat penyelesaian kain songket, dari yang sebelumnya 3 hingga 4 bulan menjadi hanya 1 hingga 2 bulan saja.

“Kami ingin menarik minat para anak muda di Sumatera Barat khususnya Solok selatan untuk kembali mencintai Songket Minangkabau. Dan kami bersedia untuk melatih dan menyediakan alat tenun di sini,” ungkapnya lagi.

Untuk bisa menjadi petenun yang handal, ia mengatakan butuh waktu 3 hingga 4 tahun bagi seseorang bisa menghasilkan songket yang berkualitas tinggi.

“Jangan sampai songket Minangkabau ini hilang oleh kehidupan modern, sumbar memiliki kekayaan budaya yang sangat tinggi. Mari kita jaga bersama,” tukasnya.

Terakhir Bernhard dan istrinya menyatakan kesiapannya untuk tinggal dan menetap di Sarib Rumah Gadang. “Saya siap bantu untuk membangkitkan kembali sejarah emas songket yang pernah ada di sini,” tukasnya.(humas solsel)