Alirman Sori: Prosesi “Balimau Paga” adalah Potensi Wisata Budaya

TOPIKINI.COM – Prosesi “Balimau Paga” bisa menjadi potensi wisata budaya, apabila dikemas dengan baik dan terencana. Setiap tahun, satu atau dua hari menjelang memasuki bulan puasa, prosesi ini dilakukan oleh hampir seluruh nagari di Pesisir Selatan.

Tokoh masyarakat Kabupaten Pesisir Selatan, Dr. H. Alirman Sori menilai, potensi itu bisa menjadi daya tarik bagi Pesisir Selatan. Dengan tidak menghilangkan makna dari prosesi itu sendiri, “Balimau Paga” bisa menjadi wahana wisata budaya yang memancing wisatawan asing datang ke Pesisir Selatan.

“Prosesi ini bisa menjadi wahana wisata budaya, jika dikemas dengan apik. Wisatawan asing sangat tertarik dengan prosesi-prosesi adat sehingga memancing mereka untuk berkunjung ke Pesisir Selatan,” ujarnya saat menghadiri prosesi “Balimau Paga” di Timbulun, Painan, Selasa (15/5).

Alirman Sori berharap, prosesi “Balimau Paga” dapat dilestarikan dan dipertahankan keasliannya. Prosesi ini sebagai bagian dari budaya yang dikaitkan dengan penyambutan bulan suci Ramadan.

“Ini tradisi menyambut bulan suci Ramadan yang sebaiknya dilestarikan sebagai bagian prosesi budaya karena memiliki nilai-nilai yang baik dalam kehidupan sosial masyarakat,” ujarnya.

Dia menegaskan, “Balimau Paga” adalah prosesi yang memiliki nilai kebersamaan dan kerukunan masyarakat di nagari-nagari. Prosesi ini juga sebagai simbol dari kegembiraan masyarakat menyambut bulan suci Ramadan.

Alirman Sori meminta, agar masyarakat menjadikan tradisi “Balimau Paga” sebagai sarana untuk memperkokoh silaturahim. Kemudian muatan nilai-nilai serta esensi utama dari prosesi ini harus tetap terbalut dalam filosofi Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK).

Melalui prosesi “Balimau Paga”, masyarakat bersama para tokoh-tokoh adat, berkumpul bersama saling memaafkan. Membersihkan diri dari kesalahan antar sesama sehingga dapat menjalankan ibadah puasa dengan hati yang bersih.
“Rumah gadang” dari kaum masing-masing suku di nagari membawa hantaran ke lapangan tempat berlangsungnya prosesi. Hantaran berupa makanan, rempah-rempah wewangian tradisional yang disebut “limau” serta lainnya dalam satu wadah disebut “carano”.

Makanan yang dibawa akan dinikmati bersama-sama sementara wewangian limau akan dipakai untuk menjalani prosesi “balimau”. Limau berupa air rebusan rempah wewangian ini nantinya akan diusapkan ke kepala seluruh hadirin dimulai dari ninik mamak yang paling dituakan atau orang penting di daerah tersebut.

“Kebersamaan yang dibungkus dalam prosesi adat ini akan menarik minat wisawatan asing. Lebih dari itu, nilai yang terkandung di dalamnya adalah sebagai lambang dari kerukunan masyarakat dan kegembiraan menyambut datangnya bulan suci Ramadan,” tandas Alirman.

Dia juga berharap, tradisi “Balimau Paga” tidak dinodai dengan hal-hal yang tidak sesuai dengan tuntunan adat dan agama. Prosesi ini bukan mandi beramai-ramai di sungai atau tempat pemandian, tetapi sebuah upacara yang berlangsung di lapangan yang dihadiri oleh para tetua adat dan tokoh masyarakat. (dio)